Gemercik
air yang terdengar begitu berirama memecah suasana hening ketika itu.
Aku duduk termenung di tepi sebuah sungai sembari mencuci piring-
piring kotor yang kubawa dengan sebuah ember plastik.
“Sendirian saja kamu
Ris ?”
Aku terkejut ketika
seseorang menyapaku dan kurasa suara itu sudah tidak asing lagi
terdengar di telingaku. Ternyata benar itu adalah suara Aldi.
Seseorang yang dulu sempat menjadi kekasihku sebelum dia memutuskan
untuk pisah.
Aku
segera beranjak dari sebuah batu yang kududuki sembari membereskan
piring- piring yang sudah selesai kucuci. Tak sepatah katapun terucap
dari mulutku ketika Aldi menyapaku, aku juga tidak membalas sapaanya.
Bahkan aku juga tidak kuasa melihat Aldi secara langsung ketika ia
berada di sampingku. Kemudian aku cepat- cepat bergegas kembali ke
rumah.
Keesokan
harinya, Senin Pon menurut kalender Jawa , terdengar Gendhing Jawa
yang mulai mengalun merdu. Sesekali aku menengok ke jendela kamarku,
terlihat begitu ramai tamu- tamu yang datang. Aku masih saja merasa
bingung dan gelisah, aku tidak bisa datang ke acara perkawinanmu. Aku
masih belum bisa melihatmu bersanding dengan wanita itu, teman
sebayaku di kampung.
Suara
Gendhing Jawa berganti menjadi musik dangdut jawa atau yang sering
disebut “Campursari”. Aku masih saja duduk termenung di sudut
kamar sambil memandang foto ukuran 3x4 yang kupasang di dalam dompet
cokelatku. Tak lain itu adalah foto Aldi yang mungkin sebentar lagi
akan melupakanku dan menempuh hidup baru bersama Eni. Sementara aku
masih berat hati menerima kenyataan yang mengharuskan aku
melepaskanya.